Thn 2012 Aku sedang berekpedisi di pulau kemarau pada bulan puasa bersama sama temanku.. Kesana pun tidak sengaja. Dalam rangka acara penutupan kegiatan kepemudaan disalah satu mesjid terbesar di kotaku. yang iseng iseng aku ikuti selama seminggu.
Beberapa Panitia pengurus yg ku kenal mengusulkan utk kesana. Yang ikut pun hanya beberapa saja. Ekspedisi pun dimulai. Ketika hari cap gommeh tentu akan semakin ramai, dengan lamp pion dimana mana. Aku berjalan jalan menyusuri jalan setapak. Tangan ku tak lepas dari pegangan rara dan mbk yuni. (Mbk yuni yang pertama ku kenal, aku ingat kata katanya yg dalam bermakna, selalu terngiang di telingaku, “kira kira apa sih dari tubuh kita ini yg tidak mengeluarkan kotoran??“).
Kembali ke cerita ekspedisiku, Kulihat Ada beberapa tempat sedikit tandus, tapi ditempat lain dengan beberapa tempat dilindungi oleh pepohonan tropis berjajar rapi dan tumbuh jarang berjarak.
Mata ku menjelajah melihat sekeliling.. Pulau Kemaro yang terletak kira kira sekitar 6 kilo meter di sebelah timur dari jembatan ampera, yang memiliki luas kurang lebih 24 hektar. Ketika menjejaki kaki dipulau ini. Aku disambut dgn patung budha besar ke emasan yang memukau mata yg memandang.
Ditambah lagi melihat pagoda merah Berlantai 9 yg tinggi menjulang.Bangunan yg baru dibangun tahun 2006. Menjadi daya tarik sendiri pulau kemaro yang berjarak sekitar 40 km dari pusat kota Palembang. Dari pagoda tersebut kita dapat melihat panorama keindahan palembang dari atas dan kegiatan masyrakat palembang di sungai musi menggunakan perahu. Dari kejauhan sini juga aku bisa melihat. Jembatan ampera, Pabrik Pupuk Sriwijaya,Pertamina Plaju dan Sungai Gerong tempat kelahiran ku.
Setelah dari pagoda aku menyusuri tempat lainnya. Kulihat disana ada sebuah kelenteng. Yang bertuliskan Soel Goet Kiong. Atau masyarakat lebih mengenalnya Klenteng Kuan Im dibangun thn 1962.
Aku memasuki kelenteng tersebut tempat orang budha berdoa.. Ketika memasuki klenteng tersebut. Ada beberapa orang sedang berdoa. Tp ada seseorang yang menarik perhatianku seorang ibu paruh baya, yang berwajah oriental.
Dia adalah penjaga klenteng. Ibu tersebut sedang menghidup kan dupa. Menyuruh seorang perempuan muda berdoa menggunakan batang dupa tersebut, sambil menyebutkan keinginannya di dalam hati dan kemudian menyuruhnya merentangkan kedua tangannya, kemudian rentangan tangan tersebut diukur menggunakan bambu panjang, diukur ditandai. Setelah itu bambu itu diasapi menggunakan asap dupa. Kemudian diukur kembali dengan merentangkan tangan. Jika ukurannya melewati ukuran semula. Maka harapan dan doa'nya td cepat ataw lambat pasti akan terkabul. Direstui oleh dewi.
Aku hanya melihat saja. Walau sedikit penasaran. Tdk berani mengikuti cara berdoa seperti itu,takut merusak keyakinan dan kepercayaan.
Jika aku berdoa di depan patung, dengan menggunakan dupa, kemudian mata terpejam... Pikiran lainnya berkata lain. Pemikiran ku mengatakan bahwa ini bentuk penghormatan dan toleransi saja,adab ketika memasuki tempat ibadah agama lain, toh hanya caranya saja berbeda. Tp keyakinan tidak akan hilang di hati. Bukan kah mata ku terpejam, tidak menunduk di depan patung, tidak memperTuhankan,tidak mempercayai. Hanya cara dan tempatnya saja berbeda.
Dari keraguan itu, ku urungkan niat itu. Terlebih lagi teman yang berdiri disebelah ku melarang nya, ketika ku utarakan niat ku kepada RAra kalau aku ingin mencobanya,benar benar penasaran apakah bambu tersebut bisa memanjang sendiri.// rara menarik tangan ku setengah berbisik,“Liat saja jangan lakukan. Mempercayai ramalan dosa, solat enggak keterima katanya“.//
Sesudah melihat kejadian tadi, beralih dari pandangan yang lain. Di depan klenteng terdapat makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan. Entah ini hanya simbol makam, atau benar benar makam mereka berdua. Tp Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi inspirasi dan legenda terbentuknya pulau ini.
||Untuk lebih jelas tentang cerita asal muasal pulau kemarau yang berkaitan dengan cerita cinta putri sriwijaya dan pangeran negeri cina. Aku dapat informasi lengkap dari browsing internet.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dengan hanya maksud melestarikan, menginformasikan sejarah dan krn ku jg enggak tau tau benar sejarahnya kalau aku yg nulis takut melenceng dari sejarahnya jd dengan mohon maav, ijin saya COPAs» Berikut ceritanya.
(Diceritakan kembali oleh Samsuni)
Legenda Pulo Kemaro adalah sebuah legenda yang mengisahkan asal mula terjadinya Pulau Kemaro di daerah Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia. Menurut cerita, pulau tersebut merupakan penjelmaan Siti Fatimah putri Raja Sriwijaya yang menceburkan diri ke Sungai Musi hingga tewas tenggelam. Peristiwa tewasnya putra Raja Sriwijaya tersebut disebabkan oleh tindakan ceroboh yang dilakukan oleh kekasihnya bernama Tan Bun Ann, putra Raja Negeri Cina. Kecerobohan apa yang telah dilakukan oleh Tan Bun Ann? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Pulo Kemaro berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Sumatra Selatan, tersebutlah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Sriwijaya. Raja tersebut mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Selain cantik, ia juga berperangai baik. Sopan-santun dan tutur bahasanya yang lembut mencerminkan sifat seorang putri raja. Kecantikan dan keelokan perangainya mengundang decak kagum para pemuda di Negeri Palembang. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena kedua orang tuanya menginginkan ia menikah dengan putra raja yang kaya raya.
Pada suatu hari, datanglah seorang putra raja dari Negeri Cina bernama Tan Bun Ann untuk berniaga di Negeri Palembang. Putra Raja Cina itu berniat untuk tinggal beberapa lama di negeri itu, karena ia ingin mengembangkan usahanya. Sebagai seorang pendatang, Tan Bun Ann datang menghadap kepada Raja Sriwijaya untuk memberitahukan maksud kedatangannya ke negeri itu.
“Ampun, Baginda! Nama hamba Tan Bun Ann, putra raja dari Negeri Cina. Jika diperkenankan, hamba bermaksud tinggal di negeri ini dalam waktu beberapa lama untuk berniaga,” kata Tan Bun Ann sambil memberi hormat.
“Baiklah, Anak Muda! Aku perkenankan kamu tinggal di negeri ini, tapi dengan syarat kamu harus menyerahkan sebagian untung yang kamu peroleh kepada kerajaan,” pinta Raja Sriwijaya.
Tan Bun Ann pun menyanggupi permintaan Raja Sriwijaya. Sejak itu, setiap minggu ia pergi ke istana untuk menyerahkan sebagian keuntungan dagangannya. Suatu ketika, ia bertemu dengan Siti Fatimah di istana. Sejak pertama kali melihat wajah Siti Fatimah, Tan Bun Ann langsung jatuh hati. Demikian sebaliknya, Siti Fatimah pun menaruh hati kepadanya. Akhirnya, mereka pun menjalin hubungan kasih. Karena merasa cocok dengan Siti Fatimah, Tan Bun Ann pun berniat untuk menikahinya.
Pada suatu hari, Tan Bun Ann pergi menghadap Raja Sriwijaya untuk melamar Siti Fatimah.
“Ampun, Baginda! Hamba datang menghadap kepada Baginda untuk meminta restu. Jika diperkenankan, hamba ingin menikahi putri Baginda, Siti Fatimah,” ungkap Tan Bun Ann.
Raja Sriwijaya terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa Tan Bun Ann adalah seorang putra Raja Cina yang kaya raya.
“Baiklah, Tan Bun! Aku merestuimu menikah dengan putriku dengan satu syarat,” kata Raja Sriwijaya.
“Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Tan Bun Ann penasaran.
“Kamu harus menyediakan sembilan guci berisi emas,” jawab Raja Sriwijaya.
Tanpa berpikir panjang, Tan Bun Ann pun bersedia memenuhi syarat itu.
“Baiklah, Baginda! Hamba akan memenuhi syarat itu,” kata Tan Bun Ann.
Tan Bun Ann pun segera mengirim utusan ke Negeri Cina untuk menyampaikan surat kepada kedua orang tuanya. Selang beberapa waktu, utusan itu kembali membawa surat balasan kepada Tan Bun Ann. Surat balasan dari kedua orang tuanya itu berisi restu atas pernikahan mereka dan sekaligus permintaan maaf, karena tidak bisa menghadiri pesta pernikahan mereka. Namun, sebagai tanda kasih sayang kepadanya, kedua orang tuanya mengirim sembilan guci berisi emas. Demi keamanan dan keselamatan guci-guci yang berisi emas tersebut dari bajak laut, mereka melapisinya dengan sayur sawi tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann.
Saat mengetahui rombongan utusannya telah kembali, Tan Bun Ann dan Siti Fatimah bersama keluarganya serta seorang dayang setianya segera berangkat ke dermaga di Muara Sungai Musi untuk memeriksa isi kesembilan guci tersebut. Setibanya di dermaga, Tan Bun Ann segera memerintahkan kepada utusannya untuk menunjukkan guci-guci tersebut.
“Mana guci-guci yang berisi emas itu?” tanya Tan Bun Ann kepada salah seorang utusannya.
“Kami menyimpannya di dalam kamar kapal, Tuan!” jawab utusan itu seraya menuju ke kamar kapal tempat guci-guci tersebut disimpan.
Setelah utusan itu mengeluarkan kesembilan guci tersebut dari kamar kapal, Tan Bun Ann segera memeriksa isinya satu persatu. Betapa terkejutnya ia setelah melihat guci itu hanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk.
“Oh, betapa malunya aku pada calon mertuaku. Tentu mereka akan merasa diremehkan dengan barang busuk dan berbau ini,” kata Tan Bun Ann dalam hati dengan perasaan kecewa seraya membuang guci itu ke Sungai Musi.
Dengan penuh harapan, Tan Bun Ann segera membuka guci yang lainnya. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Setelah membuka guci-guci tersebut ternyata semuanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk. Bertambah kecewalah hati putra Raja Cina itu. Dengan perasaan kesal, ia segera melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi satu persatu tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Ketika ia hendak melemparkan guci yang terakhir ke sungai, tiba-tiba kakinya tersandung sehingga guci itu jatuh ke lantai kapal dan pecah. Betapa terkejutnya ia saat melihat emas-emas batangan terhambur keluar dari guci itu. Rupanya di bawah sawi-sawi yang telah membusuk tersebut tersimpan emas batangan. Ia bersama seorang pengawal setianya segera mencebur ke Sungai Musi hendak mengambil guci-guci yang berisi emas tersebut.
Melihat hal itu, Siti Fatimah segera berlari ke pinggir kapal hendak melihat keadaan calon suaminya. Dengan perasaan cemas, ia menunggu calon suaminya itu muncul di permukaan air sungai. Karena orang yang sangat dicintainya itu tidak juga muncul, akhirnya Siti Fatimah bersama dayangnya yang setia ikut mencebur ke sungai untuk mencari pangeran dari Negeri Cina itu. Sebelum mencebur ke sungai, ia berpesan kepada orang yang ada di atas kapal itu.
“Jika ada tumpukan tanah di tepian sungai ini, berarti itu kuburan saya,” demikian pesan Siti Fatimah.
Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, muncullah tumpukan tanah di tepi Sungai Musi. Lama kelamaan tumpukan itu menjadi sebuah pulau. untuk mengenangnya dibangunlah Kuil. Masyarakat setempat menyebutnya Pulo Kemaro. Pulo Kemaro dalam bahasa Indonesia berarti Pulau Kemarau. Dinamakan demikian, karena pulau tersebut tidak pernah digenangi air walaupun volume air di Sungai Musi sedang meningkat.
* * *
Demikianlah Legenda Pulo Kemaro dari daerah Palembang, Kini, Pulau Kemaro menjadi salah satu obyek wisata menarik, khususnya wisata budaya dan religius, di Palembang. Setiap perayaan Cap Go Meh (15 hari setelah Imlek) ribuan masyarakat Cina (baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Cina) datang berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Di pulau itu terdapat sebuah kuil sebagai tempat peribadatan, dan di dalamnya terdapat gundukan tanah yang diyakini makam Siti Fatimah, dan dua gundukan tanah yang agak kecil yang diyakini makam pengawal Tan Bun Ann dan makam dayang Siti Fatimah.
~~~~~~~~~~~~~
Selain itu ditempat ini juga terdapat sebuah Pohon yang disebut sebagai "Pohon Cinta" yang dilambangkan sebagai ritus "Cinta Sejati" antara dua bangsa dan dua budaya yang berbeda pada zaman dahulu antara Siti Fatimah Putri Kerajaan Sriwijaya dan Tan Bun An Pangeran dari Negeri Cina, konon, jika ada pasangan yang mengukir nama mereka di pohon tersebut maka hubungan mereka akan berlanjut sampai jenjang Pernikahan. Maka pulau kemarau ini juga disebut sebagai Pulau Jodoh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar